3 Contoh Ancaman Militer Dan Non Military Diet

Posted by admin

ATURAN PELIBATAN DAN PENGERAHAN KEKUATAN TNI ANGKATAN LAUTOleh: Willy F Sumakul, FKPM.1. PendahuluanIstilah Aturan Pelibatan atau yang lebih dikenal sebagai Rule of Engagement ( ROE), pada umumnya hanya dikenal dan dipakai dibidang militer dan tidak digunakan dikalangan sipil. Bila kita menemukan penggunaan ROE dikalangan non militer ( di Indonesia) misalnya Polisi, aparat penegak hukum yang lain, aparat Pemerintah daerah dsb, tentulah hal itu di adopsi dari kalangan militer. Dapat dipastikan penggunaan ROE tersebut bukanlah ROE yang sesungguhnya yang nanti akan dibahas dalam tulisan dibawah ini. Secara umum Aturan Pelibatan ( Rule Of Engangement) dapat didefinisikan sebagai: “ Petunjuk–petunjuk yang disusun oleh Pemerintah suatu negara untuk menggambarkan keadaan lingkungan strategis serta pembatasan-pembatasan dalam mana kekuatan angkatan perang negara tersebut (darat, laut dan udara) akan memulai suatu tindakan, dan atau meneruskan kontak tempur dengan kekuatan pihak lain atau musuh pada suatu keadaan tertentu.”Dari definisi tersebut, yang dimaksud dengan kata “pelibatan” atau lebih tepatnya “penggunaan” adalah penggunaan kekuatan militer dan bukan kekuatan sipil.

  1. Contoh Ancaman Militer Dan Non Militer Di Indonesia
  2. Ancaman Militer Dan Non Militer

Selanjutnya diartikan bahwa, pengaturan atau pembuatan Aturan Pelibatan merupakan wewenang pemerintah suatu negara, sedangkan para pemimpin militernya mulai dari yang tertinggi sampai ke tingkat komandan lapangan ( on scene commander) adalah pelaksana ROE tersebut. Hal ini tentu mengacu pada kedudukan dan hakekat kekuatan militer disuatu negara (demokrasi) yang tidak lain adalah instrument (tools) negara dan Pemerintah bersangkutan. Panglima militer sekalipun, tidak memiliki kewenangan menggerakkan kekuatannya tanpa seizin pemerintah, kecuali dalam keadaan tertentu ada pendelegasian wewenang. Tersirat juga dalam definisi tersebut bahwa militer baca: Angkatan Perang sebagai kekuatan inti pertahanan negara, akan digunakan sesuai dengan tugas yang diembannya untuk menjaga, memelihara dan mempertahankan eksistensi suatu negara bangsa dari setiap ancaman baik yang datang dari luar maupun datang dari dalam. Lebih jauh lagi untuk dipahami bahwa pada hakekatnya setiap tindakan militer yang dilakukan baik dalam masa perang maupun dalam masa damai, apapun wujudnya, tidak lain merupakan implementasi dari keputusan politik pemerintah sipil. Karena itu risiko dan tanggung jawabnya berada ditangan pemerintah juga.

Jadi jelas bahwa sebenarnya tidak ada suatu tindakan militer yang dilakukan, tanpa adanya keputusan politik pemerintah yang mendahuluinya sebagai dasar tindakan. Di sinilah sebenarnya esensi dari pengertian “civilian supremacy over military” di suatu negara demokrasi di mana para pemimpin militer tunduk pada “the elected politician”, dalam hal ini Presiden atau Kepala Pemerintahan. Di Indonesia kedudukan TNI, sudah jelas menurut UU No 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, pada pasal 3, ayat 1, dinyatakan: Dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan militer, TNI berkedudukan dibawah Presiden.

Kemudian dalam hal Pengerahan dan Penggunaan Kekuatan TNI dalam pasal 17 ditegaskan: Kewenangan dan tanggung jawab pengerahan kekuatan TNI berada pada Presiden. Hanya saja UU tentang TNI tersebut perlu dielaborasi kedalam perangkat peraturan yang lebih rendah, lebih detail misalnya;PerPres, Peraturan Pemerintah dll.

Akhir-akhir ini di Indonesia kita mendengar adanya pengerahan kekuatan Angkatan Laut ( kapal-kapal perang) kebeberapa lokasi dimana kemungkinan terjadi pelanggaran wilayah teritorial oleh pihak asing. Dalam hal ini perlu ditinjau apakah pengerahan kekuatan AL tersebut adalah bagian dari kegiatan patroli rutin yang memang dilakukan sepanjang tahun, seperti patroli Kamla( suatu kegiatan operasi yang sudah didelegasikan kepada panglima TNI), atau suatu pengerahan khusus untuk suatu tugas khusus pula. Disinilah peran Aturan Pelibatan kekuatan laut, karena akan berdampak pada berbagai bidang yang menyangkut existensi negara.2. ROE dan berbagai dampak yang ditimbulkan.a). Dampak Hukum.Setiap tindakan militer pasti akan berdampak atau paling kurang mempunyai kaitan dengan hukum, baik hukum nasional maupun hukum internasional.

Dampak maupun kaitan dengan hukum ini akan sangat terasa pada pengerahan dan penggunaan kekuatan Angkatan Laut dan Angkatan Udara, karena sifat laut dan udara yang universal saling berhubungan tanpa batas.

PengantarAceh, daerah yang memiliki sejarah panjang dalam perlawanan terhadap Belanda, hingga hari ini masih terus menerus di rundung berbagai bentuk kekerasan. Sejak awal kemerdekaan berbagai gerakan perlawanan baik sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat di Jakarta maupun sebagai wujud keinginan sejumlah elemen masyarakat untuk menjadikan Aceh “merdeka” terus-menerus muncul ke permukaan. Deklarasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di tahun 1976 telah memberikan alasan kepada pemerintah pusat untuk menjadikan daerah ini sebagai daerah operasi militer terutama sejak akhir 1980-an sampai dengan 1998 dengan sandi operasi militernya yang terkenal: Operasi Jaring Merah.Secara umum ada dua cara untuk memahami berbagai persoalan yang muncul di Aceh. Pertama dengan cara melihat sejarah panjang tradisi perlawanan di daerah ini. Secara historis, Aceh pernah menjadi kerajaan Melayu-Muslim yang sangat kuat selama ratusan tahun.

Ketika Belanda datang diakhir abad ke-19 ia masih berstatus sebagai kesultanan yang independen. Dimasa colonial, daerah ini melakukan perlawanan paling panjang dengan berperang selama lebih kurang 70 tahun dari 1873 hingga 1942. Aceh kemudian berada dibawah kekuasaan Jepang hingga 1945 sebelum kemudian bergabung dengan Republik Indonesia di masa perang kemerdekaan (1945-1949). Soekarno, tokoh perjuangan kemerdekaan waktu itu berhasil meyakinkan Aceh bahwa dengan menjadi bagian dari Republik Indonesia Aceh akan mendapatkan perlindungan, kemakmuran, dan otonomi yang luas sebagai sebuah provinsi.

Karena kekecewaan terhadap pemerintah pusat, di akhir 1950-an hingga awal 1960-an Aceh melakukan gerakan perlawanan Darul Islam (DI) dibawah pimpinan Tengku Daud Beureueh. Pemberontakan ini dapat diakhiri setelah pemerintah setuju memberikan status istimewa kepada Aceh dengan kewenangan untuk mengatur dirinya sendiri dalam hal agama dan pendidikan. Sayangnya, janji ini tak pernah ditepati.Kedua, berbagai persoalan itu terkait dengan perubahan dramatis secara ekonomi, sosial, maupun politik selama tiga dekade terakhir atau lebih.

Secara legal formal Aceh berstatus sebagai Daerah Istimewa dimasa Orde Baru. Namun secara praktikal status ini hanyalah nama, tidak ada perbedaan signifikan dengan propinsi yang “tidak istimewa”.

Pembangunan ekonomi yang menjadi legitimasi utama Orde Baru telah menggeser status dan kewenangan para pemimpin tradisional religius disatu sisi, sedangkan disisi lain muncul kelas elit baru yang dikenal sebagai teknokrat. Elit baru ini lebih memiliki loyalitas kepada pemerintah pusat daripada elit-elit local.

Lebih jauh lagi, pembangunan itu sendiri telah gagal mendatangkan keuntungan yang memadai bagi masyarakat Aceh. Exploitasi gas alam Arun, Lhokseumawe, telah mendatangkan keuntungan luar biasa bagi pemerintah pusat. Sumbangan Aceh untuk APBN adalah sekitar 20 persen setiap tahun. Hanya sekitar satu persen dari sumbangan itu yang diinvestasikan kembali di Aceh, secara langsung maupun secara tidak langsung. Aceh adalah daerah yang kaya akan sumber-sumber ekonomi, namun secara ironis masyarakatnya tetap terbelakang dan miskin.

Situasi ini antara lain yang membawa kepada populernya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagi saluran alternatif bagi masyarakat untuk menyampaikan kekecewaannya.Kedua pendekatan ini mampu menjelaskan mengapa rakyat Aceh memberontak atau terus menerus melakukan perlawanan. Akan tetapi keduanya tidak cukup mampu menjelaskan mengapa kekerasan militer dan pelanggaran hak-hak asasi manusia terjadi secara massif di Aceh.Keberadaan GAM dengan tuntutannya untuk memerdekakan Aceh, menjadi alasan utama pemerintah Orde Baru untuk menjadikan daerah ini tempat operasi militer. Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa bukan hanya GAM dan anggota GAM yang menjadi target operasi militer. Militer Indonesia melakukan indiscriminate violence, menjadikan semua penduduk sebagai target, sehingga masyarakat Aceh terteror dan terus menerus berada dalam tekanan.

Pelanggaran hak asasi manusia menjadi hal yang terdengar hampir setiap hari. Menurut Robinson, selama sepuluh tahun masa DOM sekitar 2000 orang telah tewas dan lebih banyak lagi yang tidak sempat terhitung, termasuk yang ditahan, dianiaya, dan wanita-wanita yang diperkosa. Al Chaidar mencatat ada sekitar 3800 hingga 5000 orang yang terbunuh dan yang tidak terhitung jauh lebih banyak lagi. Sementara Ishak menyatakan bahwa sekitar tujuh ribu orang telah tewas selama masa 1989 hingga 1998. Sedangkan data dari Tapol, sebuah NGO internasional berbasis di London, dengan mengutip berbagai laporan dari human rights groups, adalah sebagai berikut: 3000 warga sipil terbunuh; 3862 hilang; 4663 mengalami penganiayaan; 186 diperkosa; 16 ribu anak kehilangan orang tua; dan 90 ribu lainnya menjadi pengungsi dan tidak lagi memiliki tempat tinggal. Sedikitnya 100 kuburan massal ditemukan, satu diantaranya menampung 200 mayat yang mengalami penganiayaan berat. Diantara penduduk yang masih bertahan di Aceh, ada sekitar 170 ribu orang yang mengalami trauma berat dan sekitar 6800 orang mengalami sakit mental atau jiwa.Berbagai fakta tersebut menunjukkan betapa brutalnya militer Indonesia terhadap rakyatnya sendiri.

Mengapa harus melakukan indiscriminate violence kalau hanya untuk menumpas pemberontak? Faktor apakah yang bisa menjelaskan perilaku kekerasan dan pelanggaran hak-hak asasi manusia dikalangan militer Indonesia ini?

Pertanyaan penting tersebut akan coba ditelusuri lewat tulisan ringkas ini. Pada dasarnya tulisan ini berpendapat bahwa kekerasan terhadap rakyat sipil dalam skala yang luas di Aceh di masa DOM terutama disebabkan oleh kebijakan dan praktek militer Indonesia. Perilaku kekerasan militer ini ada kaitannya dengan citra diri (self perception) militer. Sebagai pencerminan lebih jauh dari citra diri ini adalah persepsi militer terhadap sipil di Indonesia dan persepsi militer terhadap ancaman (threats).

Persepsi ini akan ditelusuri dengan menganalisa secara ringkas doktrin dan sejarah tentara di Indonesia. Kebijakan-kebijakan militer yang antara lain mencerminkan citra dirinya di implementasikan oleh rejim yang sangat represif dimana militer berada dalam kontrol penguasa tunggal Orde Baru yakni Suharto.Militer di Aceh di Masa DOMOperasi Jaring Merah adalah nama sandi resmi dari operasi militer tentara Indonesia di Aceh dari tahun 1989 sampai dengan 1998. Keberadaan operasi ini menjadikan Aceh kemudian dikenal dengan nama Daerah Operasi Militer (DOM), sebuah nama yang tidak resmi dan bukan berasal dari pemerintah Indonesia namun menjadi sangat popular di kalangan masyarakat dan dunia internasional.Gerakan separatis, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) diakhir era 1980-an makin hari makin mendapatkan dukungan yang meluas. Dukungan itu tampak sangat jelas didaerah-daerah yang menjadi kantong-kantong GAM seperti Pidie di Aceh Utara dan Aceh Timur di masa pertengahan tahun 1990.

Contoh Ancaman Militer Dan Non Militer Di Indonesia

Sejak diproklamasikannya GAM pada tahun 1976, sebetulnya pemerintah telah memberlakukan operasi territorial didaerah ini. Melalui serangkaian serangan militer oleh ABRI, GAM berhasil di tumpas diakhir 1970-an atau awal 1980-an. Namun melalui serangkaian serangan terhadap pos-pos polisi dan tentara, gerakan ini tampak menguat kembali di tahun 1989. Peningkatan serangkaian serangan ini tampaknya terkait dengan strategi GAM yang menjadikan fase mulai tahun 1989 sebagai fase perlawanan bersenjata secara penuh setelah sebelumnya melalui fase penanaman kesadaran politik dan publikasi pers. Setelah sejumlah kegagalan dalam serangan operasi teritoral di akhir 1980-an itu, ABRI melalui Komandan Komando Resort Militer (Korem) di Banda Aceh menurunkan lagi sejumlah enam ribu anggota pasukan sehingga jumlah keseluruhan tentara di lapangan saat itu menjadi duabelas ribu personil. Mulai saat itulah operasi militer dibawah DOM menjadi makin intensif diseluruh wilayah Aceh, terutama yang menjadi kantong-kantong GAM.Bagaimanakah strategi militer dalam melancarkan operasi kekerasan agar benar-benar efektif mencapai sasaran guna penumpasan GAM?

Menurut Geoffrey Robinson, strategi kekerasan militer ini dapat dibagi menjadi dua. Pertama adalah institusionalisasi teror sebagai suatu upaya untuk menghadapi apa yang dipersepsikan sebagai ancaman terhadap keamanan nasional (national security).

Ancaman Militer Dan Non Militer

Cara ini meliputi berbagai metode seperti pemberlakuan jam malam, pencarian dari rumah ke rumah, penangkapan secara sembarangan, penganiayaan terus-menerus terhadap para tertuduh yang ditahan, pemerkosaan terhadap para perempuan yang dianggap memiliki kaitan dengan GAM, dan penembakan atau eksekusi di depan publik. Kedua, mobilisasi secara paksa dan sistematis para rakyat sipil.

Tujuan dari hal ini adalah untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga asisten lapangan dan mata-mata dalam rangka operasi penumpasan pemberontakan (counter insurgency operations). Strategi mobilisasi rakyat sipil ini dilunakkan istilahnya menjadi menjadi “kerjasama sipil-militer”.Salah satu bentuk strategi kedua ini yang sangat terkenal adalah operasi pagar betis. Dalam hal ini penduduk sipil dipaksa untuk menyapu daerah didepan pasukan ABRI dan berhadapan dengan musuh (orang yang diduga GAM) di front line. Dengan cara ini ABRI dapat memaksa penduduk untuk tidak terpencar-pencar ataupun berbalik dari daerah pertempuran.

Dan para penduduk sipil ini tidak punya pilihan kecuali dua: menembak pemberontak atau ditembak tentara. Militer juga mempekerjakan unit-unit keamanan/kewaspadaan lokal dan ronda-ronda malam yang seolah-olah dibentuk oleh penduduk namun berada dibawah perintah ataupun pengawasan militer. Beberapa yang terkenal dari kelompok-kelompok ini adalah Unit Kesatria Penegak Pancasila, Bela Negara, Pemuda Keamanan Desa, dan Lasykar Rakyat. Sebelum bergerak, mereka ini mendapatkan training militer, lalu dipersenjatai dengan pisau, lembing, dan parang, kemudian diperintahkan untuk memburu para pemberontak atau para pendukung GAM.

Contoh ancaman militer dan non militer

Bila masyarakat menolak atau gagal menunjukkan komitmen dalam membasmi musuh dengan cara mengidentifikasi, menangkap ataupun membunuh, biasanya akan berakhir dengan hukuman oleh militer termasuk penganiayaan didepan publik, penangkapan, dan penembakan. Strategi lain yang juga dipergunakan militer adalah merekrut penduduk lokal untuk menjadi mata-mata dan informan bagi militer. Istilah resmi untuk mereka ini adalah Tenaga Pembantu Operasi (TPO). Masyarakat Aceh menyebut hal ini sebagai cu’ak. Maknanya kira-kira sama dengan pengkhianat. Salah satu akibat dari hal ini adalah tersebarnya atmosfir ketakutan dan saling curiga antar penduduk serta kecenderungan penduduk untuk diam dan berbicara yang baik-baik saja didepan orang lain.Dalam hal melakukan pembunuhan dan penganiayaan terhadap penduduk sipil Al Chaidar mencatat berbagai kasus yang tergolong sebagai “supersadistis”. Menurut Al Chaidar:Dari 680 kasus orang hilang dan tindak kekerasan plus pemerkosaan yang berhasil dihimpun Forum Peduli Hak Asasi Manusia (FP-HAM) setelah diklarifikasi terdapat sedikitnya 30 kasus yang berkualifikasi supersadistis.